Siang itu, Sabtu, 5 Desember, saya baru saja tiba di rumah, istirahat, makan dan salat. Telepon seluler berdering, ada keluarga dari Sengkang, mau silaturahmi.
Saya mengirimkan google map, memandu mereka agar menemukan alamat rumah dengan cepat, tepat, dan tanpa kesasar, meski penunjuk arah milik mbah google, kadang-kadang keliru juga.
Setelah 15 menit menunggu, keluarga ditunggu, tiba di rumah. Saya dan keluarga melayani dengan baik. Ngobrol dan saling menanyakan kabar.
Pewaktu menunjukkan pukul 13.30, tiba-tiba telepon selulerku berdering, saya menatap layar smartphone, Dr Hj Nurhayati memanggil. Di balik telepon, ia meminta saya ke Gedung Balai Ainun, di Jalan Abdul Jalil Habibie.
"Assalamualaikum, iye bu doktor, siap perintah," kataku.
"Kalau ada waktuta (waktu) Nak, ke Gedung Balai Ainun sekarang, naskah cerita sudah banyak terkumpul. Tinggal, kita (saya) Nak ditunggu," pintanya.
Saya pamit, keluarga yang bertamu ditemani istri. Saya bergegas menuju Gedung Balai Ainun, di gedung yang mengabadikan nama istri Presiden ketiga RI itu, sudah duduk dua doktor hebat, Dr Hj Nurhayati dan Dr Iriani Ambar.
Kami bertiga ditunjuk menjadi tim juri lomba karya tulis ibu-ibu pada peringatan Hari Ibu. Saya duduk di sebelah kiri, Dr Nurhayati di tengah dan Dr Iriani di sebelah kanan. Tentu dengan protokol kesehatan.
Sebelum mulai memeriksa naskah, masing-masing berdoa dalam hati agar kegiatan berjalan lancar. Lalu, saya minta panitia mengambil gambar kami bertiga.
Kemudian, foto itu saya upload dan dijadikan status di medsos dengan sebuah caption, "mendampingi dua doktor andalan, Dr Hj Nurhayati dan Dr Iriani Ambar, semoga doktornya menular juga ke sebelahnya".
Naskah cerita bertema pandemi Covid-19 itu, kami cek satu per satu. Pemeriksaan naskah dimulai dari sebelah kanan ke kiri.
Dr Iriani memeriksa kelengkapan naskah sesuai aturan yang telah disepakati, Dr Hj Nurhayati memeriksa naskah apakah sesuai tema atau tidak, dan saya memeriksa isu kontenporer yang diangkat dalam cerita.
Cerita yang ditulis ibu-ibu hebat itu, mengangkat pengalaman pribadi di rumah dan lingkungan masyarakat selama pandemi. Luar biasa, ibu-ibu mampu mengeskplore kejadian yang mereka alami selama pandemi di Kota Parepare.
Selama lima jam duduk, memeriksa naskah cerita sekira 100-150 kata per naskah, suasana sangat cair dan santai. Saya menikmati.
Selain itu, saya mendapat nasihat dan pengajaran luar biasa dalam gedung yang dipenuhi foto kenangan Bj Habibie dan Ainun itu.
Dr Nurhayati, sesekali bercerita soal nasib pendidikan di era pandemi. Bagi dia, guru dan dosen tidak bisa tergantikan oleh teknologi.
"Saya mendapat banyak keluhan orang tua yang sudah jenuh mengajar anaknya di rumah," ujarnya.
Bagi dosen IAIN Parepare itu, guru dan dosen memberikan teladan yang baik, seperti datang mengajar tepat waktu dan bisa dicontoh anak didik dan mahasiswa, serta nasihat yang baik.
"Sejuta kata, lebih baik dari satu perbuatan atau teladan," nasihatnya.
Ada yang mengatakan, belajar di rumah via daring mampu merekatkan dan mendekatkan anak dengan orang tuanya, ternyata tidak semua. Banyak keluhan, orang tua tidak bisa menjadi guru yang baik bagi anaknya.
Sementara itu, Dr Iriani agak serius memeriksa naskah, hanya sesekali ikut nimbrung cerita, saat pandemi seperti saat ini, guru dan dosen, serta orang tua harus mengispirasi.
"Selalu memberikan empati ke buah hatinya agar tetap semangat belajar via daring," katanya.
Saat azan Asar berkumandang dari Masjid Raya, kami hentikan kegiatan, kami turun di lantai satu, salat. Setelah salat istirahat dan makan.
Kami pindah ke meja sebelah, duduk di dekat mantan anggota DPRD Kota Parepare, Hj Saenab Syamsuddin, beliau panitia Hari Ibu ke-92. Ia menrceritakan anaknya yang baru saja tamat dari pesantren, lalu mendaftar di Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin.
"Anak saya tak mau kuliah di perguruan tinggi umum, dia mau kuliah di UIN, mungkin karena dia dari pesantren," katanya.
"Setelah mendaftar di UIN, ia juga mendaftar di IAIN Parepare. Biar ada alternatif. Alhamdulillah, dia lulus dua-duanya. Saya suruh memilih UIN atau IAIN."
"Alhamdulillah, dia pilih, IAIN Parepare. Saya bersyukur dia mau dekat dengan keluarga," katanya.
"Sekarang, sudah sering memimpin salat berjamaah. Saya juga minta dia ajarkan saya bacaan Alquran yang baik dan benar. Saya bersyukur sekali," katanya dengan mata berkaca, dia sangat bahagia. Tapi, saya juga awasi dari jauh.
Setelah istirahat yang diisi nasihat luar biasa, kami melanjutkan menilai naskah cerita. Kami selesai menilai setelah magrib. Alhamdulillah, semoga ini bernilai ibadah. aaminn. (*)
Komentar