Terik matahari tak membuat relawan literasi Rumah Masagenae, Rumah Belajar Cinta Damai (RBCD), berhenti.Mereka tetap bersemangat membimbing anak-anak putus sekolah. Mereka berharap, kelak,memiliki masa depan yang cerah, seperti anak-anak pada umumnya.
Pada Sabtu, 8 Februari, tepat pukul 14.25 Wita, relawan bergerak menemui anak jalanan di sudut kota. Relawan bergerak menuju tempat favorit mereka di tengah Kota Bandar Madani. Saat tiba di lokasi, dari jauh, sudah terlihat empat anak-anak kecil berambut kriting, kulitnya putih, mengenakan baju berwana biru.
Duduk di tepian jalan.
Temannya memanggilnya IS (nama samaran), ia duduk di belakang sebuah mobil bersama dua kawannya asyik bersenda gurau, ia memegang kaleng, duduk di atas balai-balai beralaskan papan.
"Apa dibiki dek," tanya Nisa, salah satu fasilitator di RBCD. "Lagi tunggu kapal kak," jawab anak laki-laki bertubuh tambun.
"Ayo mi ke RBCD, kita belajar dan bermain lagi," ajaknya.
"Ih, kak baru jam dua ini, jam empat pi (nanti jam empat). Datang sendiri jaka nanti kak," jawabnya.
"Kak, ada ji nanti dokter?" tanyanya. "Insya Allah adaji Kak Rijal. Kenapai," tanya Kak Nisa.
"Salah urat kakiku," katanya sambil melihat ke arah jempol kaki kirinya yang mengeluarkan darah sedikit berdarah.
"Hehe, bukan salah urat itu kalau berdarah," jawab Kak Nisa.
Di pekan kedua, program literasi anak putus sekolah, RBCD kembali didatangi belasan anak-anak putus sekolah. Tentunya bersama kakak fasilitator yang selalu setia menemani mereka belajar sambil bermain.
Kelas sore itu, lebih ramai, dihadiri beberapa wartawan dan mahasiswa magang dari Jurusan Biologi Fakusltas Sains dan Teknologi UIN Alauddin Makassar, menambah keceriaan di sore itu.
Semilir angin sepoi-sepoi, di Gazebo RBCD, melupakan sejenak kehidupan mereka beratapkan langit biru, menjadi bumbu pelengkap rasa bahagia melihat mereka bebas bertingkah dan tertawa.
Seketika, semuanya lenyap, hambar, dari jarak 20 meter, seseorang berkulit hitam, ramput agak ikal, badannya gemuk, berjalan menghampiri IS.
"Eh pulangko, na cari ko (dicari) mamamu," teriak anak itu, membuat kecerian IS perlahan ia temukan sirna. IS tak bersemangat, tampak murung, di wajahnya tak bisa menyembunyikan kekecewaannya.
Ayunan langkah kakinya begitu berat meninggalkan lingkungan yang baru saja membuat ceria, mengisi hari dengan bermain sambil belajar.
Ia bingung, dari raut wajahnya terpancar polos mereka. Satu, dua kali percobaan, akhirnya mereka mulai menemukan ritme permainan.
"Lagi kak," ujar salah satu dari mereka.
Sorakan semangat mendirikan botol plastik berisikan air untuk menjadi pemenang diiringi teriakan "cepat ko, cepat ko," teriak mereka, saat satu kelompok menjadi pemenang tak terhindarkan.
Di sela-sela keasyikan bermain, kakak Cua' menemui salah seorang anak di tepian tembok taman bunga. Suara polos anak itu bercerita.
"Delapan ka bersaudara, saya anak ketujuh, itu adek ku, sambil menunjuk ke arah anak yang sibuk bergelut dengan bola voli. Meninggal tiga kakakku, jadi sisa 5 orang ka," ceritanya.
"Jadi, Bapak ta di mana Nak," tanya Kakak Cua'. Ia menghela nafas panjang, menunduk sambil bertutur, "tidak adai Bapak ku. Di penjarai Kak," jawabnya.
Seketika suasana ceria, menjadi hening, langit mendung seakan menerjemahkan hati sangat anak. Hakikatnya, tidak seorang pun menginginkan anaknya bernasib tak baik.
Volunteer RBCD, Risal, mengatakan, pihaknya mengajarkan berbagai hal kepada anak-anak putus sekolah tersebut agar dapat berkarya.
"Kami ajarkan perilaku hidup sehat, permainan menggugah kebersamaan, kerja sama, hitung-menghitung, serta kedisiplinan," kata Risal.
Anak-anak itu, kata Risal, memiliki berbagai latar belakang yang berbeda-beda, ada yang penjual kacang, stiker, kerupuk, dan ngamen.
Program pembinaan tesebut dilakukan setiap Sabtu dan Minggu dengan menjemput anak-anak jalanan tersebut di depan KFC kota Parepare.
"Kami antar-jemput mereka dengan mobil pete-pete (angkutan kota)," katanya.
Direktur RBCD, Asniar Khumas, mengatakan, ia sedang merintis program 'sociopreneur' bagi ibu anak-anak tersebut. Tujuannya meningkatkan kesejahteraan mereka.
"Kami sedang merintis usaha kue yang dibuat ibu-ibu anak itu yang sudah terlatih. Kue tersebut akan dijual dan hasilnya untuk membantu mereka mandiri dan dapat digunakan untuk mendanai kegiatan belajar anak-anaknya," ujar dosen Psikologi UNM itu. (Ipul rbcd-asri/ril)
Komentar