Anak didik Tuan Guru, baru saja mengikuti Penilaian Tengah Semester (PTS), artinya masa studi semester genap sudah berjalan separuh masa.
Tapi, sohib Tuan Guru, murung, duduk seorang diri, mulutnya tertutup rapat, tak banyak bicara. Ia seolah-olah kehilangan semangat, lesu, letih, lemas. Selera humornya seolah hilang tersedot di lubang cacing.
Tak bergairah, saat disapa ia hanya menjawab, sesuai pertanyaan. Tuan Guru bertanya-tanya kenapa sohibnya, tak ceriah dan kehilangan selera humornya.
Cerita hilangnya gairah dan selera humor Sohib Tuan Guru, mulai menyebar. Bisik-bisik tetanga mulai terdengar, meski samar.
"Perkara apa sesungguhnya yang menimpa Sang Sohib," gumam Tuan Guru yang mulai merasakan adanya kabar angin alias ghibah.
Tuan Guru mulai menasihati sahabat-sahabatnya, agar menghindari ghibah. Saat berkumpul bersama teman, sahabat, keluarga, tak menyadari berbuat ghibah. Mengumbar aib saudara sendiri.
Seseorang melakukan ghibah, kata Tuan Guru, berdosa. Jika Anda tidak menyukai seseorang, maka jangan mengumbar keburukannya.
Allah SWT, berfirman dalam Al Quran Surat Al-Hujarat ayat 12 yang artinya, "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang."
Tuan Guru, mulai menasihati sahabatnya agar tak berghibah. Kabar buruk, lebih mudah menyebar, dibandingkan berita baik. Gosip atau ghibah, kata dia, mudah menyebar, bak cendawan tumbuh di musim hujan.
"Ghibah itu sangat berbahaya. Saat kita menceritakan aib seseorang, sejak detik pertama amalannya, mulai ditransfer kepada orang yang dicerita aibnya," kata Tuan Guru, meniru cerita ustaz.
"Janganlah mengumbar aib saudaramu, jangan mencela saudaramu. Jangan terlalu mencintai dan mendewakan seseorang, karena cinta yang terlalu itu sebenarnya bisa jadi benci. Jangan juga terlalu benci karena terlalu benci itu bisa jadi cinta," nasihat Tuan Guru.
Tuan Guru pun mendekati sohibnya, yang duduk di bawah pohon rindang nan hijau."Ada apa saudara. Duniaji ini, bukan hanya rezeki yang dibagi-bagi, tapi masalah juga bisa dibagi, biar tak membebani. Ada apa saudaraku," tanya Tuan Guru.
Sohibnyak hanya diam, ia menghela napas panjang. "Hemm," menarik napas. "Tak ada masalah saudaraku, mungkin tak cocok bagiku," ujarnya.
"Ada apa rupanya ne," tanya lagi Tuan Guru, dengan nada gurau. Sang sohib pun mulai bercerita, "simak baik-baik ceritaku bro," pintanya.
Sang Sohib pun bercerita, ada seorang anak yang disuruh gurunya menjual ikan Arwana di tetangganya seharga Rp 5 juta. Tapi, tetangga menawar ikan arwana itu seharga Rp10 ribu. Sang anak pulang, ke rumah guru dengan kecewa.
"Sabar coba dijual ke pasar, siapa tahu ada yang mau beli lebih mahal," pintanya. Sang murid yang patuh pun membawa ikan Arwana ke pasar.
Di Pasar pembeli menawar ikan arwana dengan harga Rp100 ribu. Anak itu, kembali ke rumah guru, lalu dia menyampaikan Arwana kesayangannya tak laku.
Sang guru meminta agar ikan Arwana itu dijual seharga Rp 5 juta. Kemudian anak mendatangi seorang pecinta ikan, ikan Arwana ditawar Rp10 juta. Sang anak kaget, mendengar penawaran ikan Arwana yang ia jajakan.
Sang anak pulang ke rumah gurunya dengan riang dan gembira. Ia berhasil, membawa uang Rp10 juta.
"Ini uangnya bu, ikannya laku dengan harga mahal," katanya sambil menyerahkan uang ke gurunya.
Pelajaran bisa dipetik dari harga ikan Arwana, kata Sohib Tuan Guru, jika anda berada di lingkungan yang Anda tidak dihargai, maka tinggalkanlah.
"Anda akan bernilai jika berada di lingkungan yang tepat, menghargai ilmumu, idemu, dan gagasanmu," nasihat Tuan Guru.
Cek lingkunganmu, apakah Anda berada di lingkungan yang tepat? (*)
Tapi, sohib Tuan Guru, murung, duduk seorang diri, mulutnya tertutup rapat, tak banyak bicara. Ia seolah-olah kehilangan semangat, lesu, letih, lemas. Selera humornya seolah hilang tersedot di lubang cacing.
Tak bergairah, saat disapa ia hanya menjawab, sesuai pertanyaan. Tuan Guru bertanya-tanya kenapa sohibnya, tak ceriah dan kehilangan selera humornya.
Cerita hilangnya gairah dan selera humor Sohib Tuan Guru, mulai menyebar. Bisik-bisik tetanga mulai terdengar, meski samar.
"Perkara apa sesungguhnya yang menimpa Sang Sohib," gumam Tuan Guru yang mulai merasakan adanya kabar angin alias ghibah.
Tuan Guru mulai menasihati sahabat-sahabatnya, agar menghindari ghibah. Saat berkumpul bersama teman, sahabat, keluarga, tak menyadari berbuat ghibah. Mengumbar aib saudara sendiri.
Seseorang melakukan ghibah, kata Tuan Guru, berdosa. Jika Anda tidak menyukai seseorang, maka jangan mengumbar keburukannya.
Allah SWT, berfirman dalam Al Quran Surat Al-Hujarat ayat 12 yang artinya, "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang."
Tuan Guru, mulai menasihati sahabatnya agar tak berghibah. Kabar buruk, lebih mudah menyebar, dibandingkan berita baik. Gosip atau ghibah, kata dia, mudah menyebar, bak cendawan tumbuh di musim hujan.
"Ghibah itu sangat berbahaya. Saat kita menceritakan aib seseorang, sejak detik pertama amalannya, mulai ditransfer kepada orang yang dicerita aibnya," kata Tuan Guru, meniru cerita ustaz.
"Janganlah mengumbar aib saudaramu, jangan mencela saudaramu. Jangan terlalu mencintai dan mendewakan seseorang, karena cinta yang terlalu itu sebenarnya bisa jadi benci. Jangan juga terlalu benci karena terlalu benci itu bisa jadi cinta," nasihat Tuan Guru.
Tuan Guru pun mendekati sohibnya, yang duduk di bawah pohon rindang nan hijau."Ada apa saudara. Duniaji ini, bukan hanya rezeki yang dibagi-bagi, tapi masalah juga bisa dibagi, biar tak membebani. Ada apa saudaraku," tanya Tuan Guru.
Sohibnyak hanya diam, ia menghela napas panjang. "Hemm," menarik napas. "Tak ada masalah saudaraku, mungkin tak cocok bagiku," ujarnya.
"Ada apa rupanya ne," tanya lagi Tuan Guru, dengan nada gurau. Sang sohib pun mulai bercerita, "simak baik-baik ceritaku bro," pintanya.
Sang Sohib pun bercerita, ada seorang anak yang disuruh gurunya menjual ikan Arwana di tetangganya seharga Rp 5 juta. Tapi, tetangga menawar ikan arwana itu seharga Rp10 ribu. Sang anak pulang, ke rumah guru dengan kecewa.
"Sabar coba dijual ke pasar, siapa tahu ada yang mau beli lebih mahal," pintanya. Sang murid yang patuh pun membawa ikan Arwana ke pasar.
Di Pasar pembeli menawar ikan arwana dengan harga Rp100 ribu. Anak itu, kembali ke rumah guru, lalu dia menyampaikan Arwana kesayangannya tak laku.
Sang guru meminta agar ikan Arwana itu dijual seharga Rp 5 juta. Kemudian anak mendatangi seorang pecinta ikan, ikan Arwana ditawar Rp10 juta. Sang anak kaget, mendengar penawaran ikan Arwana yang ia jajakan.
Sang anak pulang ke rumah gurunya dengan riang dan gembira. Ia berhasil, membawa uang Rp10 juta.
"Ini uangnya bu, ikannya laku dengan harga mahal," katanya sambil menyerahkan uang ke gurunya.
Pelajaran bisa dipetik dari harga ikan Arwana, kata Sohib Tuan Guru, jika anda berada di lingkungan yang Anda tidak dihargai, maka tinggalkanlah.
"Anda akan bernilai jika berada di lingkungan yang tepat, menghargai ilmumu, idemu, dan gagasanmu," nasihat Tuan Guru.
Cek lingkunganmu, apakah Anda berada di lingkungan yang tepat? (*)
Komentar