Di saat perang melawan Virus Wuhan ditabuh. Informasi hoax Virus Korona juga bejibun di media sosial dan disantap mentah-mentah sebagian masyarakat.
Di grup WA yang dikuti Tuan Guru, banyak disinformasi, misinformasi, dan malinformasi. Tuan Guru hanya bisa menasihati agar tidak ikut menyebar berita hoax.
Paling penting bisa dilakukan, kata Tuan Guru adalah jaga kesehatan, konsumsi menu seimbang. Terapkan pola hidup sehat dan bersih. Rajin cuci tangan dengan sabun di air mengalir. Ganti baju dan mandi setelah bertemu siapapun di luar atau tamu.
Saat ini, Tuan Guru berada di rumah, menjalankan proses belajar mengajar, bekerja, dan beribadah di rumah.
"Hindari keramaian, tunda perjalanan ke luar daerah atau luar negeri yang tidak urgen," nasihat Tuan Guru.
Sayangi keluarga, sahabat, dan tetangga. Karena bisa saja perjalanan dari luar negeri atau daerah lain membawa oleh-oleh virus, tanpa kita sadari. Tentu sangat membahayakan diri, keluarga, dan orang lain.
Paling simpel mawas diri dan mengikuti anjuran pemerintah dan ulama. Berikhtiar dan berdoa agar kondisi ini segera berakhir dan kembali sedia kala.
Ayo kita bisa memutus rantai penyebaran wabah COVID-19 dengan jarak, berdiam diri di rumah selama 14 hari.
Dokter Reisa Broto Asmoro menjelaskan, seperti dikutip liputan6.com, isolasi mandiri atau berdiam diri di rumah selama 14 hari dapat menyelamatkan ribuan nyawa.
"Masa penularan virus corona (COVID-19) minimal 2-14 hari sampai muncul gejala. Artinya orang itu bisa tetap merasa sehat meski ternyata sudah terinfeksi virus COVID-19," jelas Reisa dalam keterangan video
Jika anak tetap bepergian misalnya ke mal, tempat rekreasi, rumah saudara dan lainnya, seandainya sewaktu jalan-jalan di hari ke-10 dan tertular ke orang lain atau tempat yang dikunjungi, mungkin di hari ke-14 belum ada tanda-tanda sakit.
"Tapi dia sudah membawa COVID-19 di tubuhnya dan berpotensi menularkan. Kalau dia masuk setelah hari ke-15, jadi libur 14 hari itu percuma saja tidak ada gunanya," katanya.
Ayo kita patuh, tidak ke mana-mana atau keluar rumah kecuali untuk hal yang sangat perlu dan tidak bisa digantikan, tetapi usahakan anak-anak tidak ikut.
Cara itu, sederhana. Tapi membuat warga patuh menjalankan program pemerintah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI), tidak semudah membalik telapak tangan.
Kini pemerintah bersama rakyat bahu membahu, melawan Virus Wuhan. Mari jaga jarak, saya jaga jarak, Anda jaga jarak. Silaturahmi tetap jalan. Bersama melawan Korona dengan mengikuti anjuran ulama dan pemerintah.
Selain melawan Virus Wuhan, pemerintah disibukkan memerangi hoax (berita bohong). Para pelaku menyebar berita bohong Virus Korona, membuat sebagian warga cemas. Bijaklah bermedia sosial.
Sharing, sharing, sharing sebelum share. Pastikan berita kita share ada konfirmasi, verifikasi, cek and ricek. Penyebar hoax pun sudah ada yang ditangkap polisi.
Berilah kesempatan pemerintah bersama tim dokter dan tenaga medis, pengelola rumah sakit, serta ahli bekerja dengan baik. Jangan ganggu mereka.
Saya yakin mereka tidak diam dan membiarkan wabah ini terus menyakiti rakyat. Patuhi anjuran pemerintah dan ulama. Tetap berada di rumah.
***
Nasihat KH Emha Ainun Najib atau Cak Nun, saya kutip di laman, islamindonesia.id. Nasihat ini ditulis tahun 2015 dengan judul : Cak Nun: Shalat Jumat vs Orang Kecelakaan. Tapi,.sesuai kondisi kekinian.
Suatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong dengan pertanyaan beruntun. “Cak Nun,” kata sang penanya,
“Misalnya pada waktu bersamaan tiba-tiba sampeyan menghadapi tiga pilihan, yang harus dipilih salah satu, (1) pergi ke masjid untuk shalat Jumat, (2) mengantar pacar berenang, (3) mengantar tukang becak miskin ke rumah sakit akibat tabrak lari, mana yang sampeyan pilih ?”
Cak Nun menjawab lantang, “Ya nolong orang kecelakaan.”. Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang ?” kejar si penanya.
“Ah, mosok Allah ndeso gitu,” jawab Cak Nun.“Kalau saya memilih shalat Jumat, itu namanya mau masuk surga tidak ngajak-ngajak, ” katanya lagi.
“Dan lagi belum tentu Tuhan memasukkan ke surga orang yang memperlakukan sembahyang sebagai credit point pribadi."
Kata Tuhan: Kalau engkau menolong orang sakit, Aku-lah yang sakit itu. Kalau engkau menegur orang yang kesepian, Aku-lah yang kesepian itu. Kalau engkau memberi makan orang kelaparan, Aku-lah yang kelaparan itu.i
Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya. Shalat memang wajib tapi untuk Allah (tidak dipamerkan kepada orang lain).
Tolok ukur kesalehan hakikatnya adalah output sosialnya: kasih sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan dengan orang lain, memberi, membantu sesama.
Idealnya, orang beragama itu seharusnya memang mesti shalat, ikut misa, atau ikut kebaktian, tetapi juga tidak korupsi dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih sayang.
Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap. Agama mengajarkan pada kesantunan, belas kasih, dan cinta kasih sesama.
Bila kita cuma puasa, shalat, baca al-Quran, pergi ke kebaktian, ikut misa, datang ke pura. Menurut saya, kita belum layak disebut orang yang beragama.
Tetapi, bila saat bersamaan kita tidak mencuri uang negara, menyantuni fakir miskin, memberi makan anak-anak terlantar, hidup bersih, maka itulah orang beragama.
Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan hanya dari kesalehan personalnya, melainkan juga kesalehan sosial.
Orang beragama adalah orang yang bisa menggembirakan tetangganya. Orang beragama ialah orang yang menghormati orang lain, meski beda agama.
Orang yang punya solidaritas dan keprihatinan sosial pada kaum mustadh’afin (kaum tertindas). Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya.
Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap dan jiwa sosial tinggi. Bukan orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid, sementara beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan. (*)
Di grup WA yang dikuti Tuan Guru, banyak disinformasi, misinformasi, dan malinformasi. Tuan Guru hanya bisa menasihati agar tidak ikut menyebar berita hoax.
Paling penting bisa dilakukan, kata Tuan Guru adalah jaga kesehatan, konsumsi menu seimbang. Terapkan pola hidup sehat dan bersih. Rajin cuci tangan dengan sabun di air mengalir. Ganti baju dan mandi setelah bertemu siapapun di luar atau tamu.
Saat ini, Tuan Guru berada di rumah, menjalankan proses belajar mengajar, bekerja, dan beribadah di rumah.
"Hindari keramaian, tunda perjalanan ke luar daerah atau luar negeri yang tidak urgen," nasihat Tuan Guru.
Sayangi keluarga, sahabat, dan tetangga. Karena bisa saja perjalanan dari luar negeri atau daerah lain membawa oleh-oleh virus, tanpa kita sadari. Tentu sangat membahayakan diri, keluarga, dan orang lain.
Paling simpel mawas diri dan mengikuti anjuran pemerintah dan ulama. Berikhtiar dan berdoa agar kondisi ini segera berakhir dan kembali sedia kala.
Ayo kita bisa memutus rantai penyebaran wabah COVID-19 dengan jarak, berdiam diri di rumah selama 14 hari.
Dokter Reisa Broto Asmoro menjelaskan, seperti dikutip liputan6.com, isolasi mandiri atau berdiam diri di rumah selama 14 hari dapat menyelamatkan ribuan nyawa.
"Masa penularan virus corona (COVID-19) minimal 2-14 hari sampai muncul gejala. Artinya orang itu bisa tetap merasa sehat meski ternyata sudah terinfeksi virus COVID-19," jelas Reisa dalam keterangan video
Jika anak tetap bepergian misalnya ke mal, tempat rekreasi, rumah saudara dan lainnya, seandainya sewaktu jalan-jalan di hari ke-10 dan tertular ke orang lain atau tempat yang dikunjungi, mungkin di hari ke-14 belum ada tanda-tanda sakit.
"Tapi dia sudah membawa COVID-19 di tubuhnya dan berpotensi menularkan. Kalau dia masuk setelah hari ke-15, jadi libur 14 hari itu percuma saja tidak ada gunanya," katanya.
Ayo kita patuh, tidak ke mana-mana atau keluar rumah kecuali untuk hal yang sangat perlu dan tidak bisa digantikan, tetapi usahakan anak-anak tidak ikut.
Cara itu, sederhana. Tapi membuat warga patuh menjalankan program pemerintah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI), tidak semudah membalik telapak tangan.
Kini pemerintah bersama rakyat bahu membahu, melawan Virus Wuhan. Mari jaga jarak, saya jaga jarak, Anda jaga jarak. Silaturahmi tetap jalan. Bersama melawan Korona dengan mengikuti anjuran ulama dan pemerintah.
Selain melawan Virus Wuhan, pemerintah disibukkan memerangi hoax (berita bohong). Para pelaku menyebar berita bohong Virus Korona, membuat sebagian warga cemas. Bijaklah bermedia sosial.
Sharing, sharing, sharing sebelum share. Pastikan berita kita share ada konfirmasi, verifikasi, cek and ricek. Penyebar hoax pun sudah ada yang ditangkap polisi.
Berilah kesempatan pemerintah bersama tim dokter dan tenaga medis, pengelola rumah sakit, serta ahli bekerja dengan baik. Jangan ganggu mereka.
Saya yakin mereka tidak diam dan membiarkan wabah ini terus menyakiti rakyat. Patuhi anjuran pemerintah dan ulama. Tetap berada di rumah.
***
Nasihat KH Emha Ainun Najib atau Cak Nun, saya kutip di laman, islamindonesia.id. Nasihat ini ditulis tahun 2015 dengan judul : Cak Nun: Shalat Jumat vs Orang Kecelakaan. Tapi,.sesuai kondisi kekinian.
Suatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong dengan pertanyaan beruntun. “Cak Nun,” kata sang penanya,
“Misalnya pada waktu bersamaan tiba-tiba sampeyan menghadapi tiga pilihan, yang harus dipilih salah satu, (1) pergi ke masjid untuk shalat Jumat, (2) mengantar pacar berenang, (3) mengantar tukang becak miskin ke rumah sakit akibat tabrak lari, mana yang sampeyan pilih ?”
Cak Nun menjawab lantang, “Ya nolong orang kecelakaan.”. Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang ?” kejar si penanya.
“Ah, mosok Allah ndeso gitu,” jawab Cak Nun.“Kalau saya memilih shalat Jumat, itu namanya mau masuk surga tidak ngajak-ngajak, ” katanya lagi.
“Dan lagi belum tentu Tuhan memasukkan ke surga orang yang memperlakukan sembahyang sebagai credit point pribadi."
Kata Tuhan: Kalau engkau menolong orang sakit, Aku-lah yang sakit itu. Kalau engkau menegur orang yang kesepian, Aku-lah yang kesepian itu. Kalau engkau memberi makan orang kelaparan, Aku-lah yang kelaparan itu.i
Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya. Shalat memang wajib tapi untuk Allah (tidak dipamerkan kepada orang lain).
Tolok ukur kesalehan hakikatnya adalah output sosialnya: kasih sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan dengan orang lain, memberi, membantu sesama.
Idealnya, orang beragama itu seharusnya memang mesti shalat, ikut misa, atau ikut kebaktian, tetapi juga tidak korupsi dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih sayang.
Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap. Agama mengajarkan pada kesantunan, belas kasih, dan cinta kasih sesama.
Bila kita cuma puasa, shalat, baca al-Quran, pergi ke kebaktian, ikut misa, datang ke pura. Menurut saya, kita belum layak disebut orang yang beragama.
Tetapi, bila saat bersamaan kita tidak mencuri uang negara, menyantuni fakir miskin, memberi makan anak-anak terlantar, hidup bersih, maka itulah orang beragama.
Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan hanya dari kesalehan personalnya, melainkan juga kesalehan sosial.
Orang beragama adalah orang yang bisa menggembirakan tetangganya. Orang beragama ialah orang yang menghormati orang lain, meski beda agama.
Orang yang punya solidaritas dan keprihatinan sosial pada kaum mustadh’afin (kaum tertindas). Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya.
Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap dan jiwa sosial tinggi. Bukan orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid, sementara beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan. (*)
Komentar