Langsung ke konten utama

Masih Berkutat Nilai

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, luncurkan program Merdeka Belajar dengan mengganti Ujian Nasional (UN) menjadi Asesment Kompetensi Minimum (AKM) dan mengurangi beban guru yang selama ini sibuk mengurusi administrasi.

Saat ini, paradigma pembelajaran peserta didik di sekolah harus berubah. Kini, pembelajaran masih berkutat soal ranking atau nilai.

Pembelajaran, mestinya dimulai membangun karakter anak agar memiliki kecakapan berpikir kritis, mampu mengemukakan ide dan gagasan.

Setiap penerimaan hasil belajar peserta didik (raport), guru mengumumkan peringkat anak didik. Peraih nilai tertinggi mendapatkan bingkisan atau penghargaan dari sekolah. 

Penghargaan itu, memberikan motivasi peserta didik lainnya agar terus belajar. Tokoh pendidikan, Ki Hajar Dewantara, mencontohkan, tuntunan segala kekuatan kodrat yang ada pada peserta didik.

Pendidikan itu memberikan keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.

Sistem pendidikan kita sebenarnya lepas dari pemahaman mengenai filsafat ilmu yang menuntut untuk mampu berpikir reflektif terhadap persoalan yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia.

Guru dan peserta didik, bukan sekadar mengetahui konten pembelajaran, tetapi bisa memetik makna dari apa yang dipelajari, ide tentang belajar yang menjadi kebutuhan yang berkembang di seluruh dunia.

Saat ini, sistem pendidikan terbaik dimiliki negara Finlandia, dinilai mampu menciptakan pola pendidikan yang baik, seperti menyeleksi guru secara ketat, gaji guru tinggi, kurikulum yang konsisten, meminimalisir ujian, tidak menggunakan sistem peringkat, dan biaya pendidikan ditanggung pemerintah.

Gagasan pendidikan di Finlandia, mirip konsep Ki Hajar Dewantara, Menteri Pendidikan Indonesia pertama itu pernah memiliki sebuah gagasan, yakni pendidikan yang menghargai perbedaan karakteristik tiap anak.

Konsep Ki Hajar, anak-anak tumbuh berdasarkan kodrati yang unik, setiap anak mampu untuk menjadi apa yang dia inginkan melalui pendidikan yang selektif.

Sistem pendidikan tidak melakukan standarisasi yang baku terhadap anak didiknya, serta memiliki sistem peringkat.

Director Education Cambridge International Tristian Stobie, Chris Watkins, dikutip jawapos, mememaparkan, kebanyakan peserta didik dan orang tua masih berorientasi pada ranking di sekolah.

Guru tak jarang menekankan nilai pada peserta didik dalam sistem pembelajaran.
Chris Watkins mempunyai gagasan tentang perubahan tersebut. Bagaimana pendidikan harus bertransisi dari orientasi prestasi (performance orientation) ke orientasi pembelajaran (learning orientation).

Perubahan ini, sudah diterapkan di Singapura. Ranking bukan lagi indikator dalam pendidikan dasarnya. Langkah ini juga sekaligus menghilangkan soal siapa paling tinggi nilainya dan paling rendah di kelasnya.

Perubahan ini tentu tidak mudah. Guru harus kerja keras dalam mengubah metode pengajarannya.

Guru dituntut lebih memahami anak didiknya, tentang sejauh mana penguasaan peserta didik pada materi yang diajarkan, bagaimana berpikir kritis, hingga penerapan nilai-nilai sosial di lingkungannya.

Pendidikan tak bisa dipisahkan dari lingkungan atau budaya lokalnya. Menjaga kearifan lokal sejatinya hal yang penting. Aktivitas belajar mengajar harus merefleksikan nilai-nilai sosial yang ada di lingkup budaya lokalnya.(*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kamus Minggu : Arti Kata Sekolah dan Belajar

       (ilustrasi dw.com) Tiga hari sebelum dimulai pembelajaran semester genap, tahun ajaran 2020 - 2021, Tuan Guru 'dicecar' sejumlah pertanyaan dari anak didiknya. Di Whatshapp Grup, puluhan pertanyaan seputar kapan belajar, kapan sekolah, kapan belajar tatap muka, dan lainnya. Tuan Guru menjawab pertanyaan anak didiknya dengan sabar. Selain itu, ia membagikan tautan atau link berita berkaitan informasi belajar tatap muka semester genap. Alhamdulillah, anak didik Tuan Guru mulai memahami kondisi di era pandemi. Jumlah warga terpapar Virus Korona, terus bertambah. Hari ini, Minggu, 3 Januari 2020, Tuan Guru ingin berbagi pengetahuan sedikit mengenai arti dan makna kata sekolah dan belajar.  Bukan menggurui, tapi berbagi, meski sudah benyak mengetahui arti dan makna dua diksi itu, tapi sering ada yang keliru. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata sekolah itu bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran. Saya kuti

Sokko Bolong

Sabtu, 19 Desember, sang surya nampak malu-malu, menampakkan dirinya dari ufuk. Suhu pagi itu  cukup hangat. Di ujung timur garis horison, terlihat awan tebal, masih menyelimuti pegunungan. Nampaknya rinai akan membasah bumiku beberapa hari ke depan. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (Bmkg), prediksi hujan masih mengguyur Kota Parepare dan sekitarnya, beberapa hari ke depan. Matahari mulai menghangatkan bumi yang basah selama tiga hari terakhir, diguyur hujan. Membuatku butuh kehangatan.  Berita banjir dan meluapnya Salo Karajae, dan sebagian warga di bilangan Bacukiki harus mengungsi menjadi isu hangat di berbagai media, baik media cetak, media siber, maupun media sosial. Saya berdoa semoga hujan membawa keberkahan dan penambah rezeki bagi kita semua. "Aaminn," doaku. Suhu dingin selama tiga hari ini membangkitkan selera makanku. Bahkan makin membuncah, ingin menikmati sokko bolong (ketan hitam). Pagi-pagi, istri saya menyediakan menu yang sudah kurindukan itu. M

Perangi Sampah

Setiap hari browsing media online, sudah jadi kebiasaan setiap hari.Sekadar, mencari info sepak bola di negeri Ratu Elisabeth, Juku Eja, dan perkembangan Timnas kategori umur.  Sebuah headline salah satu media terbesar, membuat kaget, sekaligus takut. Media itu, mengulik produksi sampah di negeri zambrut khatulistiwa. "Bahaya," kataku, sambil terus membaca ulasan soal produksi sampah di negeriku.  Saat ini, produksi sampah di Indonesia sudah mencapai 7.300 ton setiap jam.Sampah-sampah itu, paling banyak diproduksi di rumah tangga.  Media itu melansir sebuah survei hanya 49,2 persen rumah tangga melek sampah. Sisanya mereka tak ambil pusing. Hasil survei ini diperoleh dipublikasi Katadata Insight Center (KIC), dari 354 responden dari lima kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya.Survei ini menunjukkan dari 50,8 persen rumah tangga yang tidak memilah sampah.  Survei yang digelar 28 September hingga 1 Oktober 2019 ini, disimpulkan