Langsung ke konten utama

Rencana Sebelum Bencana

                            Ilustrasi : Pemprov DKI Jakarta


Saat menikmati waktu istirahat 30 menit di sekolahnya. Tuan Guru, browsing berita cuaca menggunakan smartphone miliknya, tiba-tiba ia didatangi anak didiknya. 

 "Maaf Pak mengganggu sebentar, saya mau bertanya."

Tuan Guru persilakan anak didiknya bertanya,"Apa itu cuaca ekstrem Pak," tanyanya sambil duduk. 

Anak didik Tuan Guru itu dikenal kritis dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi di sekolahnya. Sambil mengusap rambutnya yang mulai memutih itu, ia berpikir sejenak, menjawab pertanyaan anak didiknya.  
Selama ini, Tuan Guru selalu menjadi tempat curhat bagi anak didik, bertanya soal sains dan fenomena alam. Pertanyaan anak didik itu, sederhana, tapi aktual dan faktual, sesuai kondisi kekinian. 

"Jadi cuaca ekstrem itu fenomena meteorologi yang ekstrem dalam sejarah iklim. Fenomena cuaca yang mempunyai potensi menimbulkan bencana alam," jawab Tuan Guru. 

 "Oohh begitu Pak, saya sudah paham, cuaca ekstrem itu berbahaya Pak," katanya anak didik Tuan Guru, sambil mengangguk. 

 Tiba-tiba bel berbunyi, Tuan Guru bersama anak didiknya yang kritis itu, bergegas masuk kelas. Tuan guru memulai pelajarannya, seperti bisa ia selalu bercerita soal fenomena alam. Tema cerita Tuan Guru kali ini, seputar bencana alam. 

Menurut Tuan Guru, bencana tidak bisa dihentikan atau dicegah. Yang bisa dilakukan meningkatkan kewaspadaan, agar risikonya bisa dikurangi. Harus diketahui, cerita Tuan Guru, mengenali dan memahami jenis bencana alam. Kemudian ditangani bersama. 

Selain itu, cerita Tuan Guru, juga mengenali tanda-tandanya agar kita bisa terhindar dari dampak bencana. "Lalu Pak, kenapa bisa BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) mengetahui adanya Angin Monsun Asia yang akan melintas di Sulsel," tanya anak didiknya, memotong cerita Tuan Guru. 

 "BMKG itu memiliki satelit yang bisa memantau kondisi cuaca di atmosfer. Seperti saat ini, BMKG tahu kondisi cuaca, seperti pola tekanan rendah di BBU (Belahan Bumi Utara) dan meningkatnya pola Tekanan Rendah di wilayah BBS (Belahan Bumi Selatan)," kata Tuan Guru setelah membaca update bmkg.go.id 

 "Kondisi ini mengindikasikan terjadinya peningkatan aktifitas Monsun Asia yang dapat menyebabkan penambahan massa udara basah di wilayah Indonesia, meningkatnya pola tekanan rendah di BBS (sekitar Australia)," ujarnya. 

 Sehingga membentuk pola konvergensi (pertemuan massa udara) dan belokan angin menjadi signifikan meningkatkan pertumbuhan awan hujan di wilayah Indonesia terutama di bagian selatan ekuator seperti Sulsel dan beberapa wilayah di Indonesia. 

Selain itu, aktifitas Madden Julian Oscillation (MJO) fase basah diprediksikan mulai aktif di sekitar wilayah Indonesia selama periode sepekan ke depan, kondisi ini tentunya dapat meningkatkan potensi pembentukan awan hujan cukup signifikan di wilayah Indonesia. 

"Jadi apa yang harus kita lakukan agar terhindar dari bencana alam," tanya anak didiknya, memotong lagi cerita Tuan Guru. "Jadi harus kita kenali jenis fenomena alam seperti angin kencang. Biasanya diawali suhu panas dan terik, tiba-tiba berubah jadi gelap dan tebal," ceritanya. 

 "Saat tanda-tanda itu muncul, kita bisa menghindari pohon, tiang listrik, dan berlindung di gedung yang kokoh. Angin kencang tidak bisa dicegah," jawab Tuan Guru. 

 "Kita harus rajin membaca informasi cuaca agar kita bisa menyelamatkan diri dan membantu orang lain. Tapi, paling penting selalu berdoa kepada Allah SWT agar kita selamat dari musibah," jawabnya. 

Lalu bagaimana cara tangani, harus rutin digelar simulasi bencana alam seperti penanganan gempa dan angin kencang. Saat simulasi warga diberikan pengetahuan, gejala alam terjadinya badai. Saat gempa yang berkekuatan di atas 5 skala richter dan air laut surut, kita harus meninggalkan pantai, karena itu tanda-tanda tsunami. 

 "Jangan setelah gempa air laut surut, ikan-ikan di tinggal air. Eh, kita datang beramai-ramai tangkap ikan, tiba-tiba datang gelombang besar menggulung, pasti jadi korban," cerita Tuan Guru disambut tawa anak didiknya. 

Warga yang tinggal di daerah rentan atau rawan bencana harus memiliki Tas Siaga, dalam tas itu berisi perbekalan untuk 32 jam, seperti obat-obatan, senter, pakaian dalam, coklat, pakaian, dokumen pribadi dan lain-lain. Saat terjadi bencana, bisa langsung tinggalkan rumah dan membawa Tas Siaga ke tempat evakuasi atau tempat aman, semacam "Rencana Sebelum Bencana". 

 "Biasa ada orang selamat dari bencana, tapi mati kelaparan karena tidak memiliki perbekalan dan obat-obatan. Cukup ceritanya, kita lanjutkan pelajarannya," ujarnya sambil meminta anak didiknya membuka buku Sains. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kamus Minggu : Arti Kata Sekolah dan Belajar

       (ilustrasi dw.com) Tiga hari sebelum dimulai pembelajaran semester genap, tahun ajaran 2020 - 2021, Tuan Guru 'dicecar' sejumlah pertanyaan dari anak didiknya. Di Whatshapp Grup, puluhan pertanyaan seputar kapan belajar, kapan sekolah, kapan belajar tatap muka, dan lainnya. Tuan Guru menjawab pertanyaan anak didiknya dengan sabar. Selain itu, ia membagikan tautan atau link berita berkaitan informasi belajar tatap muka semester genap. Alhamdulillah, anak didik Tuan Guru mulai memahami kondisi di era pandemi. Jumlah warga terpapar Virus Korona, terus bertambah. Hari ini, Minggu, 3 Januari 2020, Tuan Guru ingin berbagi pengetahuan sedikit mengenai arti dan makna kata sekolah dan belajar.  Bukan menggurui, tapi berbagi, meski sudah benyak mengetahui arti dan makna dua diksi itu, tapi sering ada yang keliru. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata sekolah itu bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran. Saya kuti

Sokko Bolong

Sabtu, 19 Desember, sang surya nampak malu-malu, menampakkan dirinya dari ufuk. Suhu pagi itu  cukup hangat. Di ujung timur garis horison, terlihat awan tebal, masih menyelimuti pegunungan. Nampaknya rinai akan membasah bumiku beberapa hari ke depan. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (Bmkg), prediksi hujan masih mengguyur Kota Parepare dan sekitarnya, beberapa hari ke depan. Matahari mulai menghangatkan bumi yang basah selama tiga hari terakhir, diguyur hujan. Membuatku butuh kehangatan.  Berita banjir dan meluapnya Salo Karajae, dan sebagian warga di bilangan Bacukiki harus mengungsi menjadi isu hangat di berbagai media, baik media cetak, media siber, maupun media sosial. Saya berdoa semoga hujan membawa keberkahan dan penambah rezeki bagi kita semua. "Aaminn," doaku. Suhu dingin selama tiga hari ini membangkitkan selera makanku. Bahkan makin membuncah, ingin menikmati sokko bolong (ketan hitam). Pagi-pagi, istri saya menyediakan menu yang sudah kurindukan itu. M

Perangi Sampah

Setiap hari browsing media online, sudah jadi kebiasaan setiap hari.Sekadar, mencari info sepak bola di negeri Ratu Elisabeth, Juku Eja, dan perkembangan Timnas kategori umur.  Sebuah headline salah satu media terbesar, membuat kaget, sekaligus takut. Media itu, mengulik produksi sampah di negeri zambrut khatulistiwa. "Bahaya," kataku, sambil terus membaca ulasan soal produksi sampah di negeriku.  Saat ini, produksi sampah di Indonesia sudah mencapai 7.300 ton setiap jam.Sampah-sampah itu, paling banyak diproduksi di rumah tangga.  Media itu melansir sebuah survei hanya 49,2 persen rumah tangga melek sampah. Sisanya mereka tak ambil pusing. Hasil survei ini diperoleh dipublikasi Katadata Insight Center (KIC), dari 354 responden dari lima kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya.Survei ini menunjukkan dari 50,8 persen rumah tangga yang tidak memilah sampah.  Survei yang digelar 28 September hingga 1 Oktober 2019 ini, disimpulkan