Langsung ke konten utama

Panre Bessi di Tengah Produk Modern

                                                     salah satu hasil karya panre bessi

"Tang, tang, tang," suara besi berdentang dipukul memecah keheningan sore itu, di sebuah kampung di Desa Massepe, Kecamatan Rellu Limpoe, Kabupaten Sidrap. Sang empu (Panre Bessi) atau pandai besi, Basri terus memukulkan palu godam ke sebuah batang besi yang telah dipanaskan di sebuah tungku yang membara. 

 Kedua matanya tak berkedip, tertuju pada titik yang sama, besi berbentuk persegi berukuran sekira 20 centimeter (cm) itu. Nyala bara api, memerah pada besi itu menunjukkan tingkat kepanasan yang sangat tinggi. 

Kini besi siap dibentuk. Para Panre Besi seperti Basri, harus benar-benar jeli, agar godam yang dipukulkan tepat sasaran yang sama tidak saling bertumbukan dan model yang diinginkan bisa terbentuk. 

Basri harus ekstra hati-hati. Ia memiliki peran sangat vital dan tanggung jawab paling berat dalam pekerjaan itu. Tangan kirinya harus kuat menjepit besi membara, sementara tangan kanannya memegang godam, menempa besi keras itu hingga gepeng. Tidak sembarang orang bisa menjalankan menjadi Panre Besi. 

Butuh waktu tahunan untuk berlatih menyepit besi panas. Jika pegangan tak kuat, maka bisa salah perhitungan dalam menjepit. Besi panas bisa lepas dan terpental saat dipukul, hingga mencelakai dirinya atau orang lain di sekitarnya. 

Kemampuan yang dimiliki seperti Basri, hanya dimiliki orang-orang tertentu saja. Kebanyakan pekerja lebih memilih menjadi tukang kebun atau bertani daripada mengambil peran yang amat berisiko.

"Ini pekerjaan sangat berat, kita harus fokus dan berhati-hati," kata Basri, Panre Besi di Desa Massepe, Kamis, 2 Januari. 

Saat besi tertumbuk ratusan kali, besi keras itupun luluh hingga menjadi gepeng. Tetapi, bukan berarti pekerjaan itu terhenti. Puluhan batang besi yang dimasak pada tungku api masih menanti untuk dipoles.  
Tangan kekar itu, baru berhenti mengayun saat suara azan terdengar. Basri sesaat menghela napas panjang, menghela keringat yang membelah pipinya, lalu menenggak satu cangkir air putih, sembari bercengkerama bersama kerabatnya. 

Sisa peluh yang mengalir di kulit legam dia cepat terlahap angin desa yang masih segar. Satu jam kemudian, usai salat berjemaah, dia mengangkat kembali godamnya, lalu memukulkannya ke besi panas tanpa henti, sampai sore hari. 

Di desa itu, profesi sebagai pandai besi masih diminati sebagian besar warga, bahkan pandai besi di Desa Massepe, sudah menjadi mata pencarian sehari-hari. Keberadaan sejumlah rumah produksi alat berbahan besi di desa itu membuktikannya. 

Mayoritas pandai besi masih menggunakan cara tradisional dalam menempa besi menjadi pisau, cangkul, badik, sabil dan lain sebagainya. Hasil produksi dari Panre besi itu, dipasarkan di Sulawesi, Kalimantan, dan beberapa daerah di Indonesia. 

Saat ini, masih banyak warga menggeluti kerajinan mallanro atau panre bessi. Massepe, 11 kilometer dari Ibu Kota Sidrap ke arah ke Kabupaten Soppeng, dikenal sebagai lumbungnya para empu atau panre bessi. 

Sejak dulu, warga Massepe telah memproduksi alat perang yang dipesan dari tentara Addatuang Sidenreng. Warga Massepe biasanya membuat senjata, tombak, badik, parang, anak panah, dan cangkul, dan lain-lain. 

Kini para Panre Bessi, membuat alat pertanian seperti alat bajak tanah, cangkul, linggis, parang, pisau, dan sabit. Produk tradisional di Massepe sulit dikembangkan agar tetap eksis. Pemerintah harus membantu para Panre Bessi menjual produknya ke luar daerah. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengejar Asa

Terik matahari tak membuat relawan literasi Rumah Masagenae, Rumah Belajar Cinta Damai (RBCD), berhenti.Mereka tetap bersemangat membimbing anak-anak putus sekolah. Mereka berharap, kelak,memiliki masa depan yang cerah, seperti anak-anak pada umumnya.  Pada Sabtu, 8 Februari, tepat pukul 14.25 Wita, relawan bergerak menemui anak jalanan di sudut kota. Relawan bergerak menuju tempat favorit mereka di tengah Kota Bandar Madani. Saat tiba di lokasi, dari jauh, sudah terlihat empat anak-anak kecil berambut kriting, kulitnya putih, mengenakan baju berwana biru.  Duduk di tepian jalan. Temannya memanggilnya IS (nama samaran), ia duduk di belakang sebuah mobil bersama dua kawannya asyik bersenda gurau, ia memegang kaleng, duduk di atas balai-balai beralaskan papan.   "Apa dibiki dek," tanya Nisa, salah satu fasilitator di RBCD. "Lagi tunggu kapal kak," jawab anak laki-laki bertubuh tambun.  "Ayo mi ke RBCD, kita belajar dan bermain lagi," ajaknya.   "Ih, k...

Inilah Pesan Terakhir Abu Bakar Juddah

Kabar duka menyelimuti civitas akademika Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Parepare,  guru dan dosen senior di kampus hijau tosca, Dr Abu Bakar Juddah, meninggal dunia, Rabu, 18 November 2020, di kediamannya.  “Selamat Jalan Saudaraku,” ucap Wakil Rektor II Dr H Sudirman L saat pelepasan jenazah almarhum Abu Bakar Juddah, di kediamannya BTN Griya Pondok Indah B Nomor 17 Kebun Sayur, Kecamatan Soreang, Kota Parepare. Kabar berpulangnya ke Rahmatullah mantan Wakil Rektor III Bidang Kerjasama dan Kemahasiswaan IAIN Parepare itu, mengagetkan civitas akademika IAIN Parepare. Dosen dan mahasiswa, melayat ke rumah duka dan mendoakan almarhum agar mendapat tempat paling indah di sisi-Nya. Mereka memasang stutus di media sosialnya dilengkapi dengan foto almarhum, sebagai tanda berduka cita. Rektor IAIN Parepare Dr Ahmad Sultra Rustan, menceritakan kenangan bersama almarhum. Rektor mengenang almarhum sebagai sosok penuh dedikasi, santun, bersahaja, dan bersahabat. "Almarhum seperti sau...

Dekaplah Anakmu

"Didiklah anak ayah dan bunda kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual agar kelak menjadi generasi yang berakhlak mulia," kata seorang ibu kepada anaknya. Anak-anakmu akan menjadi generasi yang menggantikan kita semua. Sehingga ayah dan bunda serta guru memang harus duduk bersama untuk bentuk karakter anak agar mengerti agama dan budayanya. "Saya mengajak ayah dan bunda agar meluangkan waktu di tengah kesibukan kita, memberikan perhatian kepada anak-anak kita. Waktu anak-anak di sekolah sangat terbatas," katanya.  “Suatu saat ayah, merindukan anaknya. Tapi banyak anak yang meluapkan dekapan ayahnya." Tempat  keluarga sebagai maadrazah pertama bagi anak. Berikan perhatian dan waktu yang lebih untuk anak-anak kita.  "Kita perlu gerakan 1821. Yakni pukul 18.00 Wita-pukul 21.00 Wita, televisi dan internet dimatikan. Ayo kita duduk bersama anak, berdiskusi dan saling berbagi pengetahuan. Saya yakin anak-anak akan merinduk...