Suasana Idulfitri di zaman milenial tentu berbeda dengan zaman dulu. Dulu, sehari sebelum salat ied, suara takbir menggema memecah kesunyian dan keheningan malam di desaku. Obor sebagai penerang di malam hari dan sekelompok anak-anak berbondong-bondong ke masjid mesyiarkan kalimat takbir tasbih, tahmid, dan pujian-pujian kepada sang pencipta, menambah kekhusyukan melepas bulan Ramadan dan menyambut satu Syawal.
Sebagian warga berkeliling menganggungkan asma Allah diterangi cahaya obor bersama suara beduk yang ditalu di masjid dan musallah. Anak-anak remaja, memukul beduk dengan irama dan harmoni menghasilkan suara yang unik, membuat suasana hening kampung menjadi riuh.
Anak-anak desa di kampung saya biasanya menyambut idulfitri dengan menembakkan meriam. Sebuah senjata mainan terbuat dari bambu dengan bahan bakar minyak tanah, suara meriam terdengar seperti sebuah perang besar, mereka silih berganti menembakkan meriam andalannya. Namun, perang berakhir tanpa korban jiwa, membuat suasana lebaran idulfitri semakin semarak.
Tapi, saat ini, suasana itu menjadi langka bagi anak-anak di desa, banyak remaja menyambut idulfitri dengan berkelompok mengendarai sepeda motor, mereka memecah kesunyian malam dengan suara kendaraan yang memekakkan telinga. Tidak ada lagi anak-anak yang membawa obor dan beduk ditalu.
Suasana itu, sulit dijumpai di zaman milenial. Suara takbir, tahmid, dan tasbih, terdengar pelan dan sayup-sayup di tengah riuh rendah kendaraan bermotor. Suara kendaraan yang digeber memecah keheningan malam di desaku.
Tapi, bagi ibu-ibu, tetap memelihara dan pertahankan tradisi membuat kue passiara dan panganan khas lebaran. Mereka sibuk menyiapkan kue bagi passiara (orang yang datang ke rumah setelah lebaran) hingga dini hari, demi menyambut tamu dan keluarga nan jauh yang ingin datang merayakan hari raya lebaran di kampung halaman.
"Kue passiara sudah menjadi tradisi. Kue ini disajika bagi tamu, sahabat, tetangga, dan keluarga yang datang bersilaturahmi. Rasanya kurang lengkap merayakan lebaran, tanpa kue lebaran dan panganan lainnya,"kata seorang warga bernama Suryani, dalam bahasa bugis.
Mereka tak peduli mahalnya harga bahan untuk membuat kue. Ia rela mengocek kantongnya lebih dalam untuk menyiapkan panganan khas lebaran. Tak peduli harga bahan untuk membuat kue mahal, demi merayakan idulfitri bersama kerabat dan sahabat, serta tetangga kue passiara dan panganan khas lebaran harus tersaji di meja.
Selain itu, ibu-ibu di rumah juga menyediakan panganan istimewah seperti burasa, bajabu, tumbu, tape, kari ayam, minuman dingin dan segar. Hidangan itu, sebenarnya hanya media sebagai perekat silaturahmi dengan sesama. Panganan yang disajikan saat itu, hanya pelengkap untuk saling meminta dan memberi maaf.
Padahal, semua tetangga di desa membuat kue lebaran. Lalu siapa yang mau makan? Bukankah semua tetangga juga membuat kue?. Yang datang massiara juga punya kue di rumahnya. Demi tradisi, pasti dibuat. Kue passiara hanya media saja untuk merajut kembali silaturahmi dan saling memaafkan dan memberi maaf. (*)
Sebagian warga berkeliling menganggungkan asma Allah diterangi cahaya obor bersama suara beduk yang ditalu di masjid dan musallah. Anak-anak remaja, memukul beduk dengan irama dan harmoni menghasilkan suara yang unik, membuat suasana hening kampung menjadi riuh.
Anak-anak desa di kampung saya biasanya menyambut idulfitri dengan menembakkan meriam. Sebuah senjata mainan terbuat dari bambu dengan bahan bakar minyak tanah, suara meriam terdengar seperti sebuah perang besar, mereka silih berganti menembakkan meriam andalannya. Namun, perang berakhir tanpa korban jiwa, membuat suasana lebaran idulfitri semakin semarak.
Tapi, saat ini, suasana itu menjadi langka bagi anak-anak di desa, banyak remaja menyambut idulfitri dengan berkelompok mengendarai sepeda motor, mereka memecah kesunyian malam dengan suara kendaraan yang memekakkan telinga. Tidak ada lagi anak-anak yang membawa obor dan beduk ditalu.
Suasana itu, sulit dijumpai di zaman milenial. Suara takbir, tahmid, dan tasbih, terdengar pelan dan sayup-sayup di tengah riuh rendah kendaraan bermotor. Suara kendaraan yang digeber memecah keheningan malam di desaku.
Tapi, bagi ibu-ibu, tetap memelihara dan pertahankan tradisi membuat kue passiara dan panganan khas lebaran. Mereka sibuk menyiapkan kue bagi passiara (orang yang datang ke rumah setelah lebaran) hingga dini hari, demi menyambut tamu dan keluarga nan jauh yang ingin datang merayakan hari raya lebaran di kampung halaman.
"Kue passiara sudah menjadi tradisi. Kue ini disajika bagi tamu, sahabat, tetangga, dan keluarga yang datang bersilaturahmi. Rasanya kurang lengkap merayakan lebaran, tanpa kue lebaran dan panganan lainnya,"kata seorang warga bernama Suryani, dalam bahasa bugis.
Mereka tak peduli mahalnya harga bahan untuk membuat kue. Ia rela mengocek kantongnya lebih dalam untuk menyiapkan panganan khas lebaran. Tak peduli harga bahan untuk membuat kue mahal, demi merayakan idulfitri bersama kerabat dan sahabat, serta tetangga kue passiara dan panganan khas lebaran harus tersaji di meja.
Selain itu, ibu-ibu di rumah juga menyediakan panganan istimewah seperti burasa, bajabu, tumbu, tape, kari ayam, minuman dingin dan segar. Hidangan itu, sebenarnya hanya media sebagai perekat silaturahmi dengan sesama. Panganan yang disajikan saat itu, hanya pelengkap untuk saling meminta dan memberi maaf.
Padahal, semua tetangga di desa membuat kue lebaran. Lalu siapa yang mau makan? Bukankah semua tetangga juga membuat kue?. Yang datang massiara juga punya kue di rumahnya. Demi tradisi, pasti dibuat. Kue passiara hanya media saja untuk merajut kembali silaturahmi dan saling memaafkan dan memberi maaf. (*)
Komentar