Langsung ke konten utama

Rezeki Politik Ngepul


Sang surya baru saja terbit dari ufuk, Jumat, 28 Juli 2017, aktivitas di sebuah warung kopi di bilangan Pasar Senggol riuh, tapi tidak ada saling senggol. Secangkir kopi susu menjadi penghangat tubuh di pagi itu.

Kopi khas tersaji  di meja, ditemani Sanggara Balanda dan sejumlah panganan khas bugis ala rakyat. Hangatnya kopi disempurnakan dengan kepulan asap dan aroma nikotin mengepul tanpa dosa menuju ujung langit.

Sejumlah lelaki paruh baya duduk berjauhan, mereka berkumpul melepas ketegangan dari aktivitas sepekan. Lelaki paruh baya itu, awalnya tidak saling kenal, masing-masing memegang smartphone kesayangannya. Tanpa saling sapa dan menikmati secangkir kopi kesukaannya.

Suasana hening, tiba-tiba berubah menjadi riuh. Saat seorang pengunjung tiba-tiba perlihatkan sebuah berita utama di sebuah surat kabar. Semua saling mendekat dan diskusi tanpa bataspun dimulai.

Mereka awalnya banyak yang tidak saling kenal. Akhirnya saling menawarkan sebatang rokok, berlanjut membicarakan politik di depan sebuah restoran mewah.

Perbincangan hangat membahas intrik politik itu bebas, tanpa ada batas, tapi tidak menghina, tidak saling menjagokan kandidat, bicara lepas ala rakyat tanpa takut diuber penguasa.

Obrolan sederhana, jauh dari aroma mewah, tapi hangat, sehangat intrik politik menuju Pilkada. "Semua mau jadi pendamping. Tapi, pendamping hanya satu terpilih," kata  seorang penikmat kopi, disambut ketawa pengunjung.

Perbincangan hangat tanpa sekat itu, menunjukan rakyat sudah cerdas tanpa kurikulum anyar, mereka tak belajar kurikulum politik. Tanpa silabus politik, dan tanpa rencana pembelajaran politik.

Surat kabar dan smartphone sudah menjadi sumber bacaan yang menyajikan akses informasi yang meluber bak cangkir kopi susu hangat.

Cukup datang ke warung kopi. Semua menu tersaji lengkap, hangat sepanas kopi susu, manis semanis madu, kental, sekental silaturahmi dan kebersamaan dengan rakyat tanpa batas.

***
Diskusi warung kopi jangan dianggap sepele, terbuka tanpa ras, agama, dan suku. Mereka semua datang nongki dengan modal secangkir kopi, tapi  informasi soal intrik meluber bak kopi dalam teko, melalui pembicaraan dari meja ke meja yang hangat, sehangat kopi susu.

Di temani secangkir kopi susu di pagi hari. Kini menjadi budaya gaya hidup bagi beberapa kalangan. Warung kopi sudah menjadi wadah silahturahmi antar masyarakat dengan status sosial berbeda.

Apalagi menjelang Pilkada semakin banyak masyarakat berbondong-bondong ke warung kopi, tua sampai muda berdiskusi soal Pilkada. Kondisi ini disambut pengusaha warkop dengan senyum, rezeki politik mulai muncul.(*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kamus Minggu : Arti Kata Sekolah dan Belajar

       (ilustrasi dw.com) Tiga hari sebelum dimulai pembelajaran semester genap, tahun ajaran 2020 - 2021, Tuan Guru 'dicecar' sejumlah pertanyaan dari anak didiknya. Di Whatshapp Grup, puluhan pertanyaan seputar kapan belajar, kapan sekolah, kapan belajar tatap muka, dan lainnya. Tuan Guru menjawab pertanyaan anak didiknya dengan sabar. Selain itu, ia membagikan tautan atau link berita berkaitan informasi belajar tatap muka semester genap. Alhamdulillah, anak didik Tuan Guru mulai memahami kondisi di era pandemi. Jumlah warga terpapar Virus Korona, terus bertambah. Hari ini, Minggu, 3 Januari 2020, Tuan Guru ingin berbagi pengetahuan sedikit mengenai arti dan makna kata sekolah dan belajar.  Bukan menggurui, tapi berbagi, meski sudah benyak mengetahui arti dan makna dua diksi itu, tapi sering ada yang keliru. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata sekolah itu bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran. Saya kuti

Sokko Bolong

Sabtu, 19 Desember, sang surya nampak malu-malu, menampakkan dirinya dari ufuk. Suhu pagi itu  cukup hangat. Di ujung timur garis horison, terlihat awan tebal, masih menyelimuti pegunungan. Nampaknya rinai akan membasah bumiku beberapa hari ke depan. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (Bmkg), prediksi hujan masih mengguyur Kota Parepare dan sekitarnya, beberapa hari ke depan. Matahari mulai menghangatkan bumi yang basah selama tiga hari terakhir, diguyur hujan. Membuatku butuh kehangatan.  Berita banjir dan meluapnya Salo Karajae, dan sebagian warga di bilangan Bacukiki harus mengungsi menjadi isu hangat di berbagai media, baik media cetak, media siber, maupun media sosial. Saya berdoa semoga hujan membawa keberkahan dan penambah rezeki bagi kita semua. "Aaminn," doaku. Suhu dingin selama tiga hari ini membangkitkan selera makanku. Bahkan makin membuncah, ingin menikmati sokko bolong (ketan hitam). Pagi-pagi, istri saya menyediakan menu yang sudah kurindukan itu. M

Perangi Sampah

Setiap hari browsing media online, sudah jadi kebiasaan setiap hari.Sekadar, mencari info sepak bola di negeri Ratu Elisabeth, Juku Eja, dan perkembangan Timnas kategori umur.  Sebuah headline salah satu media terbesar, membuat kaget, sekaligus takut. Media itu, mengulik produksi sampah di negeri zambrut khatulistiwa. "Bahaya," kataku, sambil terus membaca ulasan soal produksi sampah di negeriku.  Saat ini, produksi sampah di Indonesia sudah mencapai 7.300 ton setiap jam.Sampah-sampah itu, paling banyak diproduksi di rumah tangga.  Media itu melansir sebuah survei hanya 49,2 persen rumah tangga melek sampah. Sisanya mereka tak ambil pusing. Hasil survei ini diperoleh dipublikasi Katadata Insight Center (KIC), dari 354 responden dari lima kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya.Survei ini menunjukkan dari 50,8 persen rumah tangga yang tidak memilah sampah.  Survei yang digelar 28 September hingga 1 Oktober 2019 ini, disimpulkan