"Assalamu Alaikum, Massiara, Massiara, Massiara. Meloka massiara (mau silaturahmi)," kata sekelompok bocah.
Mendengar kata yang pelan dan ragu."Mauka (mau) massiara." Pemilik rumah pun persilakan masuk ke rumahnya dan meminta mencicipi hidangan yang telah disediakan di meja makan.
"Masuki Nak, silahkan ambil sendiri," ajak tuan rumah. Tapi anak-anak dengan polos menolak ajakan tuan rumah. Mereka kor menjawab."Uangmo puang."
Tuan rumah pun memberikan uang yang dibagi secara adil kepada anak-anak yang datang Massiara. "Terima kasih puang," katanya, sambil salaman dan mencium tangan tuan rumah.
Bagi orang dewasa, massiara sudah menjadi budaya yang terjaga sebagai penyambung tali silaturrahmi dengan keluarga, tetangga, dan sahabat di hari raya.
Tali silaturahmi yang dikemas dengan ritual atau budaya massiara untuk bertemu dan saling memaafkan dengan saudara, keluarga, sahabat, dan tetangga.
Mabbaca Doang
Sehari sebelum massiara, sebagian orang bugis menggelar ritual mabbaca doang (membaca doa). Ritual ini dilakukan pada malam 1 syawal atau 9 Dzulhijjah (Iduladha)
Membaca doa selamat sudah dilakukan orang bugis sejak zaman dulu. Doa mereka dikirimkan kepada keluarga yang telah meninggal dunia dan doa keselamatan agar semua anggota keluarga sehat serta bertemu kembali dengan bulan Ramadan atau Iduladha berikutnya.
Tradisi membaca doa biasanya dilengkapi dengan panganan khas bugis seperti sokko,ayam,ketam, dan ikan. Pembaca doa biasaya dilakukan oleh seseorang yang dituakan di kampung atau disebut tuan guru.
Esok hari, seluruh umat Islam berbondong-bondong ke masjid atau lapangan untuk menyempurnakan ibadah Ramadan melalui Idulfitri atau salat sunat Iduladha.
Kue Passiara
Sepekan sebelum lebaran, di kampung saya, di Bone, bagian selatan, ibu-ibu sibuk menyiapkan kue bagi passiara. Mereka tak peduli mahalnya harga bahan untuk membuat kue. Kue passiara itu diperuntukkan bagi kerabat dan sahabat, serta tetangga yang datang massiara merayakan hari raya.
Kue passiara bukan sekadar hidangan bagi tamu, tetapi hidangan itu adalah perekat silaturahmi. Wadah saling meminta dan memberi maaf.
Semua tetangga membuat kue lebaran. Lalu siapa yang mau makan? Bukankah semua tetangga juga membuat kue?. Yang datang massiara juga punya kue di rumah.
Tapi, namanya tradisi pasti akan dibuat. Kue passiara hanya media saja. Massiara sebetulnya hanya media merajut kembali silaturahmi dan saling memaafkan.
Meminta dan memberi maaf di hari raya yang dikemas lewat silaturahmi ternyata sangat afdol. Tidak ada pihak yang merasa malu meminta maaf. Semua sepakat memberi dan meminta maaf. (*)
Mendengar kata yang pelan dan ragu."Mauka (mau) massiara." Pemilik rumah pun persilakan masuk ke rumahnya dan meminta mencicipi hidangan yang telah disediakan di meja makan.
"Masuki Nak, silahkan ambil sendiri," ajak tuan rumah. Tapi anak-anak dengan polos menolak ajakan tuan rumah. Mereka kor menjawab."Uangmo puang."
Tuan rumah pun memberikan uang yang dibagi secara adil kepada anak-anak yang datang Massiara. "Terima kasih puang," katanya, sambil salaman dan mencium tangan tuan rumah.
Bagi orang dewasa, massiara sudah menjadi budaya yang terjaga sebagai penyambung tali silaturrahmi dengan keluarga, tetangga, dan sahabat di hari raya.
Tali silaturahmi yang dikemas dengan ritual atau budaya massiara untuk bertemu dan saling memaafkan dengan saudara, keluarga, sahabat, dan tetangga.
Mabbaca Doang
Sehari sebelum massiara, sebagian orang bugis menggelar ritual mabbaca doang (membaca doa). Ritual ini dilakukan pada malam 1 syawal atau 9 Dzulhijjah (Iduladha)
Membaca doa selamat sudah dilakukan orang bugis sejak zaman dulu. Doa mereka dikirimkan kepada keluarga yang telah meninggal dunia dan doa keselamatan agar semua anggota keluarga sehat serta bertemu kembali dengan bulan Ramadan atau Iduladha berikutnya.
Tradisi membaca doa biasanya dilengkapi dengan panganan khas bugis seperti sokko,ayam,ketam, dan ikan. Pembaca doa biasaya dilakukan oleh seseorang yang dituakan di kampung atau disebut tuan guru.
Esok hari, seluruh umat Islam berbondong-bondong ke masjid atau lapangan untuk menyempurnakan ibadah Ramadan melalui Idulfitri atau salat sunat Iduladha.
Kue Passiara
Sepekan sebelum lebaran, di kampung saya, di Bone, bagian selatan, ibu-ibu sibuk menyiapkan kue bagi passiara. Mereka tak peduli mahalnya harga bahan untuk membuat kue. Kue passiara itu diperuntukkan bagi kerabat dan sahabat, serta tetangga yang datang massiara merayakan hari raya.
Kue passiara bukan sekadar hidangan bagi tamu, tetapi hidangan itu adalah perekat silaturahmi. Wadah saling meminta dan memberi maaf.
Semua tetangga membuat kue lebaran. Lalu siapa yang mau makan? Bukankah semua tetangga juga membuat kue?. Yang datang massiara juga punya kue di rumah.
Tapi, namanya tradisi pasti akan dibuat. Kue passiara hanya media saja. Massiara sebetulnya hanya media merajut kembali silaturahmi dan saling memaafkan.
Meminta dan memberi maaf di hari raya yang dikemas lewat silaturahmi ternyata sangat afdol. Tidak ada pihak yang merasa malu meminta maaf. Semua sepakat memberi dan meminta maaf. (*)
Komentar