Langsung ke konten utama

Merawat Ritual Massiara

"Assalamu Alaikum, Massiara, Massiara, Massiara. Meloka massiara (mau silaturahmi)," kata  sekelompok bocah.
Mendengar kata yang pelan dan ragu."Mauka  (mau) massiara." Pemilik rumah pun persilakan masuk ke rumahnya dan meminta mencicipi hidangan yang telah disediakan di meja makan.

"Masuki Nak, silahkan ambil sendiri," ajak tuan rumah. Tapi anak-anak dengan polos menolak ajakan  tuan rumah. Mereka kor  menjawab."Uangmo puang."

Tuan rumah pun memberikan uang yang dibagi secara adil kepada anak-anak yang datang Massiara. "Terima kasih puang," katanya, sambil salaman dan mencium tangan tuan rumah.

Bagi orang dewasa, massiara sudah  menjadi budaya yang terjaga sebagai penyambung tali silaturrahmi dengan keluarga, tetangga, dan sahabat di hari raya.

Tali silaturahmi yang  dikemas dengan ritual atau budaya massiara untuk bertemu dan saling memaafkan  dengan saudara, keluarga, sahabat, dan tetangga.

Mabbaca Doang
Sehari sebelum massiara, sebagian orang bugis menggelar ritual  mabbaca doang (membaca doa). Ritual ini dilakukan pada malam 1 syawal atau  9 Dzulhijjah (Iduladha)

Membaca doa  selamat sudah dilakukan orang bugis sejak zaman dulu. Doa mereka dikirimkan kepada keluarga yang telah meninggal dunia dan doa keselamatan agar semua anggota keluarga sehat serta bertemu kembali dengan bulan Ramadan atau Iduladha berikutnya.

Tradisi membaca  doa biasanya dilengkapi dengan panganan khas bugis seperti  sokko,ayam,ketam, dan ikan. Pembaca  doa biasaya dilakukan oleh seseorang yang dituakan di kampung atau disebut tuan guru.

Esok hari, seluruh umat Islam berbondong-bondong ke masjid atau lapangan untuk menyempurnakan ibadah Ramadan melalui Idulfitri atau  salat sunat Iduladha.

Kue Passiara
Sepekan sebelum lebaran, di kampung saya, di Bone, bagian selatan,  ibu-ibu sibuk menyiapkan kue bagi passiara. Mereka tak peduli mahalnya harga bahan untuk membuat kue. Kue passiara itu  diperuntukkan bagi kerabat dan sahabat, serta tetangga  yang datang massiara merayakan hari raya.

Kue passiara  bukan sekadar hidangan bagi tamu,  tetapi hidangan itu adalah perekat silaturahmi. Wadah saling meminta dan memberi maaf.

Semua tetangga membuat kue lebaran. Lalu siapa yang mau makan? Bukankah semua tetangga juga membuat kue?. Yang datang massiara juga punya kue di rumah.

Tapi, namanya tradisi pasti akan dibuat. Kue passiara hanya media saja. Massiara sebetulnya hanya media  merajut kembali silaturahmi dan saling memaafkan.

Meminta dan memberi maaf di hari raya yang dikemas lewat silaturahmi ternyata sangat afdol. Tidak ada pihak yang merasa malu meminta maaf. Semua sepakat memberi dan meminta maaf. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kamus Minggu : Arti Kata Sekolah dan Belajar

       (ilustrasi dw.com) Tiga hari sebelum dimulai pembelajaran semester genap, tahun ajaran 2020 - 2021, Tuan Guru 'dicecar' sejumlah pertanyaan dari anak didiknya. Di Whatshapp Grup, puluhan pertanyaan seputar kapan belajar, kapan sekolah, kapan belajar tatap muka, dan lainnya. Tuan Guru menjawab pertanyaan anak didiknya dengan sabar. Selain itu, ia membagikan tautan atau link berita berkaitan informasi belajar tatap muka semester genap. Alhamdulillah, anak didik Tuan Guru mulai memahami kondisi di era pandemi. Jumlah warga terpapar Virus Korona, terus bertambah. Hari ini, Minggu, 3 Januari 2020, Tuan Guru ingin berbagi pengetahuan sedikit mengenai arti dan makna kata sekolah dan belajar.  Bukan menggurui, tapi berbagi, meski sudah benyak mengetahui arti dan makna dua diksi itu, tapi sering ada yang keliru. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata sekolah itu bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran. Saya kuti

Sokko Bolong

Sabtu, 19 Desember, sang surya nampak malu-malu, menampakkan dirinya dari ufuk. Suhu pagi itu  cukup hangat. Di ujung timur garis horison, terlihat awan tebal, masih menyelimuti pegunungan. Nampaknya rinai akan membasah bumiku beberapa hari ke depan. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (Bmkg), prediksi hujan masih mengguyur Kota Parepare dan sekitarnya, beberapa hari ke depan. Matahari mulai menghangatkan bumi yang basah selama tiga hari terakhir, diguyur hujan. Membuatku butuh kehangatan.  Berita banjir dan meluapnya Salo Karajae, dan sebagian warga di bilangan Bacukiki harus mengungsi menjadi isu hangat di berbagai media, baik media cetak, media siber, maupun media sosial. Saya berdoa semoga hujan membawa keberkahan dan penambah rezeki bagi kita semua. "Aaminn," doaku. Suhu dingin selama tiga hari ini membangkitkan selera makanku. Bahkan makin membuncah, ingin menikmati sokko bolong (ketan hitam). Pagi-pagi, istri saya menyediakan menu yang sudah kurindukan itu. M

Perangi Sampah

Setiap hari browsing media online, sudah jadi kebiasaan setiap hari.Sekadar, mencari info sepak bola di negeri Ratu Elisabeth, Juku Eja, dan perkembangan Timnas kategori umur.  Sebuah headline salah satu media terbesar, membuat kaget, sekaligus takut. Media itu, mengulik produksi sampah di negeri zambrut khatulistiwa. "Bahaya," kataku, sambil terus membaca ulasan soal produksi sampah di negeriku.  Saat ini, produksi sampah di Indonesia sudah mencapai 7.300 ton setiap jam.Sampah-sampah itu, paling banyak diproduksi di rumah tangga.  Media itu melansir sebuah survei hanya 49,2 persen rumah tangga melek sampah. Sisanya mereka tak ambil pusing. Hasil survei ini diperoleh dipublikasi Katadata Insight Center (KIC), dari 354 responden dari lima kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya.Survei ini menunjukkan dari 50,8 persen rumah tangga yang tidak memilah sampah.  Survei yang digelar 28 September hingga 1 Oktober 2019 ini, disimpulkan